Indojabar.com – #SaveRajaAmpat. Tagar ini menggema di jagat maya sebagai bentuk perlawanan atas ancaman nyata yang tengah mengintai salah satu kawasan paling memesona di dunia—Raja Ampat.
Surga bawah laut yang disebut-sebut sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di muka bumi kini berada di ujung tanduk akibat kerakusan manusia. Penambangan nikel secara besar-besaran mengancam kelestarian alam yang tak ternilai.
Gelombang protes pun menyeruak. Rakyat bersuara. Para aktivis lingkungan menjerit. Tak sedikit yang menuliskan kritik dengan nada getir dan emosional. Bagaimana mungkin keindahan seagung itu harus dikorbankan demi kerakusan segelintir pihak yang ingin menimbun kekayaan?
Setelah kritik tajam datang bertubi-tubi, pemerintah akhirnya mengambil langkah penghentian sementara aktivitas tambang nikel. Tapi publik tetap waspada. Karena dalam sistem kapitalisme, penghentian bisa saja hanya basa-basi, sampai suasana kembali tenang. Kita tahu, kerakusan tidak pernah mengenal kata cukup. Segala cara bisa dihalalkan demi ambisi.
Ironisnya, tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan ini melanggar berbagai regulasi, termasuk UU Lingkungan Hidup. Bahkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut adanya pelanggaran serius dalam aktivitas pertambangan tersebut. Tapi mengapa bisa tetap berlangsung?
Jawabannya karena kita hidup dalam negara yang sudah begitu kental dengan pengaruh sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, pengusaha lebih berkuasa daripada penguasa, apalagi rakyat jelata. Negara sering kali hanya menjadi wasit—bukan pelindung—yang baru turun tangan jika suasana gaduh.
Padahal, kerusakan lingkungan bukan hanya terjadi di Raja Ampat. Lihat bagaimana hancurnya hutan-hutan di Papua karena pembukaan lahan sawit. Di Kalimantan, tambang batubara menganga di mana-mana, menyisakan lubang maut yang menelan korban. Di Sulawesi, tambang nikel terus meluas hingga ke kawasan pemukiman.
Apa yang terjadi? Negara diam. Bahkan kadang menjadi bagian dari perusak itu sendiri. Beginilah wajah sistem kapitalisme: alam dieksploitasi demi keuntungan segelintir elit, sementara rakyat menanggung bencana.
Padahal, dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) adalah milik umum. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Artinya, SDA seperti tambang, air, dan energi tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau korporasi. Negara wajib mengelolanya secara adil, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Islam juga sangat menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menggambarkan bahwa bencana dan kerusakan ekologis adalah konsekuensi dari ulah manusia yang menyalahi amanah sebagai khalifah di bumi. Islam hadir membawa konsep “hima”, wilayah konservasi yang dijaga dan tidak boleh dieksplorasi sembarangan. Negara bertanggung jawab melindungi kawasan tersebut demi keseimbangan ekosistem dan kelangsungan hidup umat manusia.
Pemimpin dalam Islam bukan sekadar regulator, apalagi boneka korporasi. Ia adalah raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab penuh atas urusan umat, termasuk perlindungan alam. Dalam sistem Islam, pengelolaan SDA dilakukan berdasarkan syariat, bukan kepentingan pasar.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa kerusakan alam yang terus terjadi adalah buah dari sistem yang rusak. Selama kita bertahan dalam sistem kapitalisme, alam tak akan pernah aman dari eksploitasi. Hanya sistem Islam yang mampu menempatkan SDA sebagai amanah, bukan komoditas. Dan hanya dengan penerapan syariat secara menyeluruh, bumi pertiwi ini bisa dijaga dan diwariskan dalam keadaan baik kepada generasi mendatang.
Raja Ampat bukan hanya tentang keindahan. Ia adalah simbol perjuangan menyelamatkan alam dari kerakusan sistem. Mari kita jaga, bukan hanya dengan tagar, tapi juga dengan memperjuangkan sistem yang benar-benar melindungi, yakni sistem Islam.
Penulis : N. Vera Khairunnisa
Editor : Richo