Indojabar.com – Setiap kali banjir bandang menerjang, fokus masalah selalu tertuju pada iklim dan intensitas hujan ekstrim. Namun, data statistik menceritakan hal lain, ada yang diam-diam menghilang dari peta negara kita, dan hal itulah yang menyebabkan curahan hujan jadi bencana.
Menurut rekapitulasi data bencana di provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 8 Desember 2025, mencatat korban meninggal sebanyak 921 jiwa, hilang 392 jiwa, korban luka 5000 jiwa, Selain itu 147,300 unit rumah terendam dan rusak, ada dalam skala besar dengan kerusakan bervariasi. (gis.bnpb.go.id 8-12-25)
Melihat begitu parah kerusakannya, ratusan ribu rumah yang rusak banyak diantaranya tidak bisa dihuni kembali, bahkan banyak desa yang hilang terkubur longsoran tanah dan lumpur endapan banjir. Potongan puing kayu, gelondongan pohon besar beserta material keras lainnya hanyut terbawa arus banjir bandang, masuk dan merobohkan rumah-rumah warga, melibas dan memporakporandakan segalanya. Suasana begitu mencekam, banyak jenazah belum dievakuasi, bahkan rumah sakit yang merupakan kebutuhan vitalpun tak terselamatkan.
Fasilitas umum seperti akses ke sekolah, fasilitas kesehatan, pertanian dan lahan rusak terendam, infrastruktur jalan dan jembatan penghubung terputus, akibat longsor, tertutup lumpur dan batu. Alat evakuasi sulit dikerahkan akhirnya melumpuhkan perekonomian dan sulitnya pengiriman bantuan logistik ke daerah terdamak. Sayangnya bencana dengan skala kerusakan sebesar ini, statusnya belum ditetapkan sebagai Bencana Nasioanl. Lantas, dari mana titik awal malapetaka ini bermula?
Bencana ini, Bukan Hanya Faktor Alam
Banjir bandang dan tanah longsor ini, bukan terjadi karna kebetulan. Penyebabnya juga bukan hanya karna faktor alam atau intensitas hujan ekstrim saja. Berkurangnya daya tampung kawasan, seperti resapan air karena kerusakan hutan dan DAS juga perlu diperhitungkan. Hutan yang rusak tidak mampu menyerap dan menyimpan cadangan air, akhirnya infiltrasi berkurang dan erosi meningkat, sungai tak mampu menahan limpasan air, berpotensi banjir bandang dan longsor.
faktanya, Bencana ini lahir dari kejahatan lingkungan yang berlangsung selama bertahun-tahun, dan sayangnya dilegitimasi oleh kebijakan negara. Seperti pemberian hak konsesi lahan/hutan secara masif, obral izin sawit, pembukaan tambang terbuka bahkan untuk ormas, hingga regulasi yang mempermudah eksploitasi seperti UU Minerba dan UU Cipta kerja. Semuanya menyumbang kerusakan ekologis, dan membuka ruang eksploitasi tanpa kendali yang menyebabkan rusak dan lemahnya fungsional hutan.
Sikap abai dan zalim yang ditunjukan penguasa, merupakan produk langsung dari sistem sekuler-kapitalisme yang memisahkan agama dari regulasi kehidupan, karna nilai-nilai moral dan ketakwaan kepada Allah Swt tidak dijadikan landasan dalam setiap kebijakan.
Dalam sistem kapitalistik sendiri, kebanyakan proyek pembangunan dinilai sebagai lahan investasi dan projek pemanfaatan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, bagi segelintir individu atau kelompok, bukan sebagai Amanah mengelola dan meriayyah negeri. Pemodal dan penguasa dengan macam kepentingannya, seringkali terafiliasi kongkalikong dalam hal pelonggaran izin, pengabaian AMDAL, atau pengeksploitasian lahan. lagi-lagi menguntungkan segelintir elit dan mengorbankan masyarakat.
Dampaknya, ketika bencana terjadi rakyatlah yang bersentuhan langsung dengan permasalahannya, kehilangan harta benda, kehilangan penghidupan, keluarga bahkan nyawa. Sistem inilah yang melahirkan pemimpin abai pada kemaslahatan dan keselamatan umat. Bisa dipastikan, selama sistem yang diemban tidak berubah, maka pola yang sama akan tetap dan terus berulang.
Bencana besar yang melanda wilayah Sumatera dan sekitarnya, semestinya jadi alarm untuk kita, betapa seriusnya masalah kerusakan lingkungan yang selama ini diabaikan. Hutan dan lahan lebat beralih fungsi jadi perkebunan sawit, penambangan, atau proyek infrastruktur, jadi lahan gundul yang minim resapan air. Sesuai laporan Kementerian Kehutanan 2024, sepanjang tahun 2000-2024 keseluruhan pulau Sumatra kehilangan jutaan hektar pohon sekitar 4,4 juta ha.
Selain itu, Kemenhut mencatat deforestasi nasional sebanyak 216.200 ha, reforestasi 40.800 ha, sehingga netto 175.400 pada 2024. (globalforestwatch.org) Artinya bencana ini bukan sekedar faktor alam, namun bukti dan peringatan bahwa tata kelola lingkungan kita harus dibenahi secara serius.
Fenomena ini, menyadarkan kita bahwa betapa berat konsekuensinya ketika mengelola bumi Allah tanpa menggunakan aturan Allah. Masalah seriusnya, sistem kapitalis ini melegalkan dan mendukung sumber daya alam diswastanisasi, sedangkan eksploitasi besar-besaran ini, tujuannya untuk keuntungan saja bukan kemaslahatan umat, karena itu dampak dari kerusakannya tidak akan diperhitungkan secara matang.
Jadi bisa dipastikan bencana ini bukan hanya faktor alam semata, semuanya selalu berawal dari kezaliman, keserakahan penguasa, serta masifnya pembukaan lahan besar-besaran dan terakumulasi selama bertahun-tahun, yang dilegalisasi oleh kebijakan-kebijakan zalim penguasa dalam sistem demokrasi-kapitalisme ini. Sedangkan, dalam hukum Islam hak-hak umum tidak diizinkan untuk dikelola oleh perorangan.
Bukti nyata ketika hukum Allah ditinggalkan, semua berlomba-lomba memperkaya dan mengenyangkan perut masing-masing saja. Rakyat jadi korban nyata, sedangkan pelaku yang menikmati hasil tak tersentuh dampaknya sama sekali. Ketika mengemban Amanah tanpa melibatkan syariat, maka keadilan pudar, bahkan sumber daya alam diswastanisasi. Singkatnya, sistem yang mengabaikan aturan Allah akan melahirkan banyak kecacatan dan ketidakadilan.
Ini Solusinya, Islam Membela Hak Milik Umat !
Sistem Islam yang sudah terverifikasi secara komprehensif punya konsep yang lebih adil dan berkelanjutan. Allah menegaskan dalam Al-qur’an surat Ar-Rum : 41
فَسَادَ ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Pesan yang sangat menyentuh, bahwa manusia sebagai khalifah dibumi bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam. Artinya, menjaga lingkungan adalah bentuk Ketaatan pada Allah Swt, dan pengrusakan adalah mutlak bentuk pembangkangan dan bertentangan dengan Amanah kekhalifahan yang Allah istimewakan untuk kita. Kerusakan demi kerusakan yang kita saksikan bukan sekedar bencana alam saja, namun besar juga alasannya karena faktor manusia yang menghancurkan sedikit demi sedikit keseimbangan ekologis bumi.
Negara dan Fungsinya
Dalam sistem Islam, negara adalah raa’in (pengurus dan penanggung jawab urusan umat), negara tidak dibenarkan mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan politik saja. semua kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam harus berdasarkan hukum Syariat. Bahwa hutan, sumber air, sumber daya alam termasuk pertambangan ada dalam kategori hak umat tadi, bersifat kepemilikan umum (Milkiyah Ammah’). Negara hanya boleh mengelola dan hasilnya didistribusikan kembali pada masyarakat untuk menunjang segala keperlukan diberbagai bidang. Kesehatan, Pendidikan, fasilitas umum, dll.
Haram Privatisasi Hak Umat (Milkiyah Ammah’)
Artinya, hal-hal yang jadi kepemilikan umat/umum haram diprivatisasi. Haram dikelola oleh individu atau korporasi untuk tujuan bisnis dan keuntungan segelintir manusia saja. Hak umat ini, Haram hukumnya diberikan kepada investor atau pemilik modal untuk kepentingan yang bersifat pribadi. Khalifah atau pemegang kekuasaan negara, akan memastikan kebijakan yang diambil negara mencegah dharar atau bahaya, demi keselamatan manusia dan lingkungan.
Dengan menerapkan Hukum Allah, negara punya benteng pertahanan yang kokoh, menjaga dan mengelola alam sesuai syariat Islam, tentu juga sebagai Amanah Syar’i dari sang pencipta, karena seorang pemimpin umat bukan aliansi politik yang bekerja untuk sekelompok manusia saja, pemimpin menyadari akan pertanggungjawaban yang besar dari Amanah kepemimpinan ini.
Program Pencegahan Preventif Pra-Bencana
Dalam sistem Islam, negara siap menggelontorkan dan mengalokasikan anggaran untuk pencegahan bencana seperti banjir dan longsor yang melibatkan para ahli dibidang lingkungan. Dengan pendanaan dari Baitulmall dan pengelolaan sumber daya, negara akan mencurhakan biaya untuk kepentingan mitigasi bencana. Negara dalam pengelolanya akan dengan cermat melihat potensi resiko, menghitung dampak, dan mengambil tindakan sesuai analisis yang tepat. Ini bentuk tanggungjawab negara dengan pijakan syariat, demi menunaikan Amanah dan kemaslahatan masyarakat.
Semua ini hanya bisa diwujudkan hanya dengan hadirnya peraturan dan hukum-hukum Islam dalam ruang kenegaraan. khalifah dengan presisi menyusun blueprint penataan ruang yang komprehensif, bukan sekedar administrasi saja, namun benar-benar panduan dalam tatalaksana sesuai fungsi alaminya.
Kawasan central resapan air dan rawan longsor tidak akan dialihfungsikan untuk pertumbuhan ekonomi. Pemukiman, industri, pertanian, pertambangan bahkan himmah (hutan) dan kekayaan alam lainnya diawasi secara serius dan tunduk pada aturan syariat, dikaji secara ilmiah agar tidak menimbulkan kerusakan.
Khatimah
Beginilah gambaran hukum Allah jika diterapkan, solusi kehidupan bahkan bernegara yang begitu terstruktur dan tidak dimiliki oleh sistem manapun. Kepemimpinan yang dituntun Amanah syariat, kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat bukan pribadi/golongan, dan pengelolaan alam yang fungsional tanpa mengeksploitasi. Wallahu alam bish-shawwab.
Penulis : Demaryani, S.Pd (Aktivis Muslimah Purwakarta)
